Demografi: Bonus VS Bencana


Ada yang menarik pada pidato perdana yang disampaikan Presiden Jokowi usai dilantik sebagai Presiden RI periode 2019-2024 Agustus lalu. 

Presiden Jokowi menegaskan bahwa pemerintah akan menjadikan pengembangan SDM sebagai salah satu prioritas utamanya, mengingat pada tahun ini, 2020 hingga 2030 nanti Indonesia diprediksi akan mengalami bonus demografi.

Sebenarnya, apa sih bonus demografi itu? 

Sederhananya, bonus demografi adalah keadaan dimana usia produktif (rentang usia 15-64 tahun) lebih banyak sekitar 70% dibanding usia non produktif (rentang usia 15 tahun kebawah atau 64 tahun keatas) sekitar 30%. Ketika hal ini terjadi, angka ketergantungan atau beban yang harus ditanggung oleh usia produktif untuk membiayai usia non-produktif akan sangat rendah sehingga sumber daya yang ada dapat dialihkan lebih banyak untuk memacu pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang akan menguntungkan pembangunan di Indonesia. 

Dalam hal ini, Indonesia bisa mencontoh Tiongkok yang berhasil memanfaatkan fase bonus demografinya. Tiongkok berhasil memproduksi berbagai komponen-komponen peralatan elektronik sehingga menciptakan lapangan pekerjaan yang sangat luas di negeri tersebut.

Meski demikian, Indonesia belum tentu bisa memanfaatkan peluang bonus demografi ini. Brasil dan Afrika Selatan adalah contoh dari dua negara yang gagal memanfaatkan peluang ini. 

Brasil mengalami kegagalan karena tidak mampu mempersiapkan diri dengan baik sejak periode bonus demografi dimulai. Bukannya memanfaatkan sumber daya untuk penyediaan akses pendidikan yang baik, Pemerintah Brasil justru fokus dan memprioritaskan alokasi sumber dayanya pada kebutuhan jaring pengamanan sosial dan pensiun. 

Sedangkan di Afrika Selatan, permasalahan utamanya berada pada tingkat pengangguran yang tinggi, disebabkan oleh kualitas pendidikan yang kurang baik. Alih-alih mendapatkan bonus, demografi justru menjadi bencana bagi Brasil dan Afrika Selatan.

Menurut Prof. Fasli Jalal, apabila indonesia ingin mendapatkan benefit dari bonus demografi ini, setidaknya ada 4 hal yang harus dipersiapkan : 

1. Kualitas angkatan kerja baik dari sisi pendidikan maupun kesehatan, serta kompetensi profesional yang dimiliki.
2. Supply tenaga kerja yang besar harus diimbangi dengan tersedianya lapangan pekerjaan yang memadai.
3. Keterlibatan perempuan secara aktif dalam pasar kerja sehingga mampu membantu peningkatan pendapatan keluarga.
4. Peningkatan kualitas SDM pada kelompok umur 15 tahun ke atas agar mampu bersaing meraih kesempatan kerja baik pada tingkat lokal, nasional maupun internasional.

Jika indonesia berhasil mengoptimalkan pengelolaan bonus demografi ini dengan baik, tentu ini akan menjadi aset berharga negara. Namun, sebaliknya jika negara tidak mampu mengelolanya, justru ini akan menjadi bencana yang akan mengakibatkan kemiskinan, pengangguran, serta rendahnya daya saing bangsa seperti yang terjadi pada Brasil dan Afrika Selatan.

Pada akhirnya, bonus demografi yang ada tidak dapat dimaknai sebagai sesuatu yang pasti. Karena sejatinya, jika negara gagal memanfaatkan momentum yang ada, maka bonus demografi hanya akan menjadi bencana.

Oleh: Sohra Salam (Staff Departemen Kebijakan Publik KAMMI Komisariat LIPIA, 2019-2020)

Editor: Aziz Zulqarnain

Tabula Rasa


Kumpulkan beberapa orang dalam satu tempat untuk menyampaikan  pandangan, ide, serta gagasan, maka akan kita temui banyak perbedaan pemahaman, misinterpretasi bahkan silang pendapat. Sebagian menyampaikan pandangan dan sebagian yang lain sibuk memberi saran. Menimbang argumen mana yang lebih dekat kepada kebenaran atau setidaknya  paling jauh dari unsur kesalahan.

Dua komponen utama saat manusia menyampaikan pandangan adalah ilmu pengetahuan dan pengalaman. Sejauh mana ilmu yang telah dimiliki mempengaruhi manusia dalam berpandangan dan sebanyak apa pengalaman memberi pelajaran terhadap realitas yang lebih hakiki dari hanya sekadar teori berteori.

Alangkah bijaknya, jika setiap manusia memahami bahwa manusia memiliki dasar pemahaman, kemampuan ilmu pengetahuan, dan serangkaian pengalaman yang tidak sama antara satu manusia dengan manusia lainnya. Tentu akan jarang kita dapati perdebatan panjang tanpa jalan keluar.

Serangkaian komponen di atas juga dipengaruhi oleh faktor perjalanan hidup seorang manusia, sejak bagaimana ia dilahirkan, pola pendidikan yang ia dapatkan, lingkungan tempat ia dibesarkan, dan ilmu pengetahuan yang ia terapkan dalam kehidupan.

Sejalan dengan itu, seorang filsuf era modern Inggris, John Locke (1632-1704 M) menjadi populer dengan teori yang dibawanya, Tabula Rasa.

Teori ini menyatakan bahwa manusia lahir dalam keadaan tanpa membawa pengetahuan dan kemampuan apapun. Tabula Rasa sendiri berasal dari bahasa latin yang berarti ‘kertas kosong', merujuk pada pandangan epistemologi bahwa seorang manusia lahir tanpa isi mental bawaan, dengan kata lain kosong. Dan seluruh sumber pengetahuan diperoleh manusia sedikit demi sedikit melalui pengalaman dan persepsi alat indranya terhadap dunia di luar dirinya.

Umumnya, para pendukung teori ini berpandangan bahwa pengalamanlah yang mempengaruhi kepribadian, kecerdasan, serta perilaku sosial dan emosional. Selain itu, Locke juga menekankan tentang kebebasan individu untuk mengisi jiwanya sendiri.

Setiap individu bebas mendefinisikan isi dari karakternya. Namun, identitas dasarnya sebagai umat manusia tidak bisa dilepaskan. Pendapat John Locke  di atas dapat disebut juga empirisme, yaitu suatu aliran atau paham yang berpendapat bahwa segala kecakapan dan pengetahuan manusia timbul dari pengamalan (empirik) yang masuk melalui alat indera. Kaum behavioris juga berpendapat senada dengan teori Tabula Rasa. Behaviorisme tidak mengakui adanya pembawaan dan keturunan, atau sifat-sifat yang turun-temurun. Mereka menganggap semua berasal dari pembiasaan serta pengalaman hidup manusia.

Di sisi lain, hal ini akan menafikan pendapat para peneliti genetika perilaku yang telah menemukan bukti-bukti yang menguatkan bahwa hingga taraf tertentu, kemampuan kognitif, sifat, watak kepribadian, kondisi kejiwaan, kecerdasan sosial dan emosional seseorang dipengaruhi oleh faktor genetik. Keberadaan atau ketiadaan gen tertentu memang tidak secara otomatis mengakibatkan perilaku tertentu, tetapi gen lebih memberi kesiapan untuk merespon lingkungan dengan cara tertentu.

Lantas, bagaimana Islam memandang hal ini?

Rasulullah SAW bersabda: "Setiap bayi dilahirkan atas dasar fitrah, maka orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi." (HR. Bukhari).

Dalam hadis ini disebutkan, setiap anak dilahirkan dalam kondisi fitrah. Dalam kamus Lisanul ‘Arab, Ibnu Mandzhur menulis salah satu makna “fitrah” dengan arti Al-Ibtida wal ikhtira' 'memulai dan mencipta’. Sehingga dapat ditarik pengertian bahwa  “fitrah” adalah penciptaan awal atau asal kejadian. Fitrah adalah kondisi default factory setting, suatu kondisi awal yang sesuai dengan desain pabrik. Yang mana, desain penciptaan manusia dari awal ia diciptakan adalah ajaran ketauhidan. Hal ini tentu bersebrangan dengan teori yang diagungkan oleh Locke dan kaum Behaviorisme di atas.

Selain itu, dalam QS. Ar-Rum ayat 30 Allah SWT berfirman:

"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam), yang sesuai fitrah Allah, disebabkan dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah, itulah agama yang lurus. Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”

“Fitrah” tidak sama dengan pengertian "kertas kosong". Fitrah bermakna asli, bersih, dan suci, tetapi berisi anugerah yang Allah karuniakan kepada setiap manusia  yang wujud dan perkembangannya tergantung pada usaha manusia itu sendiri. "Fitrah” bermuara dari hati yang pada awal penciptaannya putih bersih, digunakan untuk meminta fatwa terhadap suatu tindakan, apakah tindakan ini benar atau salah. Selain itu, dapat pula ditarik pengertian yang mendalam, bahwa hakikatnya fitrah itu tidak berubah. Ibarat pelita, ia tetap menyala, tetapi nyala pelita itu dapat terhalang dan tertutupi oleh berbagai pengalaman dan pengaruh dari luar, hingga ia menjadi tidak berfungsi. Singkatnya, penjahat paling jahat sekalipun tidak akan pernah mau anaknya menjadi penjahat, karena fitrahnya yang cenderung mengarah kepada kebaikan masih tetap menyala walau dalam kondisi tertutupi.

Simak pula, persaksian Allah SWT dengan setiap bayi yang akan dilahirkan:

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi (tulang belakang) mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), "Bukankah Aku ini Tuhanmu? "Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami ketika itu adalah orang-orang yang lengah terhadap ini"."(Q.S Al-Araf ayat 172)

Selanjutnya, pola pendidikan yang ia dapatkan, lingkungan tempat ia dibesarkan, dan ilmu pengetahuan yang ia terapkan dalam kehidupan menjadi faktor penentu yang dapat dilakukan untuk mendayagunakan potensi-potensi fitrah tersebut dan mengembangkannya menuju Marifatullah. Menjadi insan yang bertakwa kepada Allah SWT, dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Sekilas, teori Tabula Rasa ala John Locke ini terlihat nyaris sama dengan konsep epistemologi Islam. Namun, jika melihat lebih dalam akan terlihat perbedaan yang sangat signifikan antara konsep pemikiran empirisme dan konsep fitrah dalam Islam. Hal ini didasari oleh sudut pandang yang digunakan yang bisa jadi berasal dari lingkup sekulerisme, yang memang memisahkan ruang ilmu pengetahuan dan ruang ketuhanan. Akan tetapi, keduanya sepakat bahwa manusia yang baru dilahirkan adalah manusia yang bersih dan suci.

Terakhir, dapat kita simpulkan bahwa ketika manusia dilahirkan tidak benar-benar dalam kondisi kertas kosong. Melainkan terdapat potensi prinsip berpikir yang akan teraktualisasi seiring perkembangan jiwa dan fisiknya. Potensi prinsip berpikir inilah yang bisa kita artikan sebagai “fitrah manusia” yang ia bawa sejak dilahirkan. Wallahu A'lam Bisshawab.

Oleh: Amalina Salsabila (Koordinator Perempuan KAMMI Komisariat LIPIA, 2019-2020)

Ed: Aziz Zulqarnain