Demografi: Bonus VS Bencana


Ada yang menarik pada pidato perdana yang disampaikan Presiden Jokowi usai dilantik sebagai Presiden RI periode 2019-2024 Agustus lalu. 

Presiden Jokowi menegaskan bahwa pemerintah akan menjadikan pengembangan SDM sebagai salah satu prioritas utamanya, mengingat pada tahun ini, 2020 hingga 2030 nanti Indonesia diprediksi akan mengalami bonus demografi.

Sebenarnya, apa sih bonus demografi itu? 

Sederhananya, bonus demografi adalah keadaan dimana usia produktif (rentang usia 15-64 tahun) lebih banyak sekitar 70% dibanding usia non produktif (rentang usia 15 tahun kebawah atau 64 tahun keatas) sekitar 30%. Ketika hal ini terjadi, angka ketergantungan atau beban yang harus ditanggung oleh usia produktif untuk membiayai usia non-produktif akan sangat rendah sehingga sumber daya yang ada dapat dialihkan lebih banyak untuk memacu pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang akan menguntungkan pembangunan di Indonesia. 

Dalam hal ini, Indonesia bisa mencontoh Tiongkok yang berhasil memanfaatkan fase bonus demografinya. Tiongkok berhasil memproduksi berbagai komponen-komponen peralatan elektronik sehingga menciptakan lapangan pekerjaan yang sangat luas di negeri tersebut.

Meski demikian, Indonesia belum tentu bisa memanfaatkan peluang bonus demografi ini. Brasil dan Afrika Selatan adalah contoh dari dua negara yang gagal memanfaatkan peluang ini. 

Brasil mengalami kegagalan karena tidak mampu mempersiapkan diri dengan baik sejak periode bonus demografi dimulai. Bukannya memanfaatkan sumber daya untuk penyediaan akses pendidikan yang baik, Pemerintah Brasil justru fokus dan memprioritaskan alokasi sumber dayanya pada kebutuhan jaring pengamanan sosial dan pensiun. 

Sedangkan di Afrika Selatan, permasalahan utamanya berada pada tingkat pengangguran yang tinggi, disebabkan oleh kualitas pendidikan yang kurang baik. Alih-alih mendapatkan bonus, demografi justru menjadi bencana bagi Brasil dan Afrika Selatan.

Menurut Prof. Fasli Jalal, apabila indonesia ingin mendapatkan benefit dari bonus demografi ini, setidaknya ada 4 hal yang harus dipersiapkan : 

1. Kualitas angkatan kerja baik dari sisi pendidikan maupun kesehatan, serta kompetensi profesional yang dimiliki.
2. Supply tenaga kerja yang besar harus diimbangi dengan tersedianya lapangan pekerjaan yang memadai.
3. Keterlibatan perempuan secara aktif dalam pasar kerja sehingga mampu membantu peningkatan pendapatan keluarga.
4. Peningkatan kualitas SDM pada kelompok umur 15 tahun ke atas agar mampu bersaing meraih kesempatan kerja baik pada tingkat lokal, nasional maupun internasional.

Jika indonesia berhasil mengoptimalkan pengelolaan bonus demografi ini dengan baik, tentu ini akan menjadi aset berharga negara. Namun, sebaliknya jika negara tidak mampu mengelolanya, justru ini akan menjadi bencana yang akan mengakibatkan kemiskinan, pengangguran, serta rendahnya daya saing bangsa seperti yang terjadi pada Brasil dan Afrika Selatan.

Pada akhirnya, bonus demografi yang ada tidak dapat dimaknai sebagai sesuatu yang pasti. Karena sejatinya, jika negara gagal memanfaatkan momentum yang ada, maka bonus demografi hanya akan menjadi bencana.

Oleh: Sohra Salam (Staff Departemen Kebijakan Publik KAMMI Komisariat LIPIA, 2019-2020)

Editor: Aziz Zulqarnain

Tabula Rasa


Kumpulkan beberapa orang dalam satu tempat untuk menyampaikan  pandangan, ide, serta gagasan, maka akan kita temui banyak perbedaan pemahaman, misinterpretasi bahkan silang pendapat. Sebagian menyampaikan pandangan dan sebagian yang lain sibuk memberi saran. Menimbang argumen mana yang lebih dekat kepada kebenaran atau setidaknya  paling jauh dari unsur kesalahan.

Dua komponen utama saat manusia menyampaikan pandangan adalah ilmu pengetahuan dan pengalaman. Sejauh mana ilmu yang telah dimiliki mempengaruhi manusia dalam berpandangan dan sebanyak apa pengalaman memberi pelajaran terhadap realitas yang lebih hakiki dari hanya sekadar teori berteori.

Alangkah bijaknya, jika setiap manusia memahami bahwa manusia memiliki dasar pemahaman, kemampuan ilmu pengetahuan, dan serangkaian pengalaman yang tidak sama antara satu manusia dengan manusia lainnya. Tentu akan jarang kita dapati perdebatan panjang tanpa jalan keluar.

Serangkaian komponen di atas juga dipengaruhi oleh faktor perjalanan hidup seorang manusia, sejak bagaimana ia dilahirkan, pola pendidikan yang ia dapatkan, lingkungan tempat ia dibesarkan, dan ilmu pengetahuan yang ia terapkan dalam kehidupan.

Sejalan dengan itu, seorang filsuf era modern Inggris, John Locke (1632-1704 M) menjadi populer dengan teori yang dibawanya, Tabula Rasa.

Teori ini menyatakan bahwa manusia lahir dalam keadaan tanpa membawa pengetahuan dan kemampuan apapun. Tabula Rasa sendiri berasal dari bahasa latin yang berarti ‘kertas kosong', merujuk pada pandangan epistemologi bahwa seorang manusia lahir tanpa isi mental bawaan, dengan kata lain kosong. Dan seluruh sumber pengetahuan diperoleh manusia sedikit demi sedikit melalui pengalaman dan persepsi alat indranya terhadap dunia di luar dirinya.

Umumnya, para pendukung teori ini berpandangan bahwa pengalamanlah yang mempengaruhi kepribadian, kecerdasan, serta perilaku sosial dan emosional. Selain itu, Locke juga menekankan tentang kebebasan individu untuk mengisi jiwanya sendiri.

Setiap individu bebas mendefinisikan isi dari karakternya. Namun, identitas dasarnya sebagai umat manusia tidak bisa dilepaskan. Pendapat John Locke  di atas dapat disebut juga empirisme, yaitu suatu aliran atau paham yang berpendapat bahwa segala kecakapan dan pengetahuan manusia timbul dari pengamalan (empirik) yang masuk melalui alat indera. Kaum behavioris juga berpendapat senada dengan teori Tabula Rasa. Behaviorisme tidak mengakui adanya pembawaan dan keturunan, atau sifat-sifat yang turun-temurun. Mereka menganggap semua berasal dari pembiasaan serta pengalaman hidup manusia.

Di sisi lain, hal ini akan menafikan pendapat para peneliti genetika perilaku yang telah menemukan bukti-bukti yang menguatkan bahwa hingga taraf tertentu, kemampuan kognitif, sifat, watak kepribadian, kondisi kejiwaan, kecerdasan sosial dan emosional seseorang dipengaruhi oleh faktor genetik. Keberadaan atau ketiadaan gen tertentu memang tidak secara otomatis mengakibatkan perilaku tertentu, tetapi gen lebih memberi kesiapan untuk merespon lingkungan dengan cara tertentu.

Lantas, bagaimana Islam memandang hal ini?

Rasulullah SAW bersabda: "Setiap bayi dilahirkan atas dasar fitrah, maka orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi." (HR. Bukhari).

Dalam hadis ini disebutkan, setiap anak dilahirkan dalam kondisi fitrah. Dalam kamus Lisanul ‘Arab, Ibnu Mandzhur menulis salah satu makna “fitrah” dengan arti Al-Ibtida wal ikhtira' 'memulai dan mencipta’. Sehingga dapat ditarik pengertian bahwa  “fitrah” adalah penciptaan awal atau asal kejadian. Fitrah adalah kondisi default factory setting, suatu kondisi awal yang sesuai dengan desain pabrik. Yang mana, desain penciptaan manusia dari awal ia diciptakan adalah ajaran ketauhidan. Hal ini tentu bersebrangan dengan teori yang diagungkan oleh Locke dan kaum Behaviorisme di atas.

Selain itu, dalam QS. Ar-Rum ayat 30 Allah SWT berfirman:

"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam), yang sesuai fitrah Allah, disebabkan dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah, itulah agama yang lurus. Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”

“Fitrah” tidak sama dengan pengertian "kertas kosong". Fitrah bermakna asli, bersih, dan suci, tetapi berisi anugerah yang Allah karuniakan kepada setiap manusia  yang wujud dan perkembangannya tergantung pada usaha manusia itu sendiri. "Fitrah” bermuara dari hati yang pada awal penciptaannya putih bersih, digunakan untuk meminta fatwa terhadap suatu tindakan, apakah tindakan ini benar atau salah. Selain itu, dapat pula ditarik pengertian yang mendalam, bahwa hakikatnya fitrah itu tidak berubah. Ibarat pelita, ia tetap menyala, tetapi nyala pelita itu dapat terhalang dan tertutupi oleh berbagai pengalaman dan pengaruh dari luar, hingga ia menjadi tidak berfungsi. Singkatnya, penjahat paling jahat sekalipun tidak akan pernah mau anaknya menjadi penjahat, karena fitrahnya yang cenderung mengarah kepada kebaikan masih tetap menyala walau dalam kondisi tertutupi.

Simak pula, persaksian Allah SWT dengan setiap bayi yang akan dilahirkan:

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi (tulang belakang) mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), "Bukankah Aku ini Tuhanmu? "Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami ketika itu adalah orang-orang yang lengah terhadap ini"."(Q.S Al-Araf ayat 172)

Selanjutnya, pola pendidikan yang ia dapatkan, lingkungan tempat ia dibesarkan, dan ilmu pengetahuan yang ia terapkan dalam kehidupan menjadi faktor penentu yang dapat dilakukan untuk mendayagunakan potensi-potensi fitrah tersebut dan mengembangkannya menuju Marifatullah. Menjadi insan yang bertakwa kepada Allah SWT, dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Sekilas, teori Tabula Rasa ala John Locke ini terlihat nyaris sama dengan konsep epistemologi Islam. Namun, jika melihat lebih dalam akan terlihat perbedaan yang sangat signifikan antara konsep pemikiran empirisme dan konsep fitrah dalam Islam. Hal ini didasari oleh sudut pandang yang digunakan yang bisa jadi berasal dari lingkup sekulerisme, yang memang memisahkan ruang ilmu pengetahuan dan ruang ketuhanan. Akan tetapi, keduanya sepakat bahwa manusia yang baru dilahirkan adalah manusia yang bersih dan suci.

Terakhir, dapat kita simpulkan bahwa ketika manusia dilahirkan tidak benar-benar dalam kondisi kertas kosong. Melainkan terdapat potensi prinsip berpikir yang akan teraktualisasi seiring perkembangan jiwa dan fisiknya. Potensi prinsip berpikir inilah yang bisa kita artikan sebagai “fitrah manusia” yang ia bawa sejak dilahirkan. Wallahu A'lam Bisshawab.

Oleh: Amalina Salsabila (Koordinator Perempuan KAMMI Komisariat LIPIA, 2019-2020)

Ed: Aziz Zulqarnain

Memperingati Hari Film Nasional


Mungkin sebagian dari kita menganggap bulan maret adalah bulan yang biasa saja, akan tetapi bagi sebagian orang, bulan maret merupakan bulan yang cukup spesial. Salah satunya bagi para pencinta film Indonesia, Mengapa? Karena pada setiap tanggal 30 Maret terdapat momentum tahunan dalam memperingati hari film nasional.

Tanggal 30 Maret ditetapkan sebagai hari film nasional karena berkaitan dengan sebuah peristiwa bersejarah dalam dunia perfilman Indonesia, hal itu disebabkan pada tanggal 30 Maret 1950 merupakan hari dilaksanakannya syuting perdana sebuah film lokal pertama yang diproduksi oleh Indonesia.

Film perdana tersebut berjudul “Darah dan Doa”. Film ini disutradarai langsung oleh Usmar Ismail yang sekarang kita kenal sebagai bapak perfilman nasional. Film ini diproduksi langsung oleh Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini). Film yang diperankan oleh Del Juazar, Farida, Aedy Moward, Sutjipto, Awal, Johanna, dan Suzanna ini bercerita tentang perjalanan panjang prajurit Divisi Siliwangi (Indonesia) bersama keluarga mereka, dari Yogyakarta ke pangkalan utama mereka di Jawa Barat. Setelah Yogyakarta diserang dan diduduki pasukan Kerajaan Belanda lewat Aksi Polisionil.

Rombongan prajurit dan keluarga itu dipimpin Kapten Sudarto yang menjadi tokoh utama dalam film ini. Kapten Sudarto diceritakan bukan hanya sebagai pemimpin, tapi juga sebagai seorang manusia biasa yang terlibat cinta dengan seorang pengungsi perempuan berdarah Indo-Belanda. Perjalanan panjang film ini pun diakhiri pada tahun 1950 dengan diakuinya kedaulatan Republik Indonesia secara penuh.

Film ini sukses menggambarkan ideologi yang dimiliki orang-orang Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaannya. Oleh karena itu, “Darah dan Doa” dianggap sebagai film pertama yang mencerminkan ciri khas Indonesia dan pantas menjadi titik bangkitnya perfilman tanah air.

Keputusan menjadikan tanggal 30 Maret sebagi hari perfilman nasional tersebut diresmikan pada masa pemerintahan B.J. Habibie melalui Keppres Nomor 25/1999.
Walaupun begitu, film cerita pertama yang dibuat di Indonesia bukanlah “Darah dan Doa” akan tetapi film pertama adalah “Loetoeng Kasaroeng” pada tahun 1926. Cerita “Loetoeng Kasaroeng” sebenarnya menampilkan legenda terkenal dari Jawa Barat yang berisi nasihat untuk tidak memandang sesuatu dari tampilan fisiknya saja. Namun, film hitam putih itu bukan merupakan karya asli dari orang Indonesia, film ini diproduksi oleh Java Film Co dan sutradara oleh L. Heuveldorp.

Perlu diketahui bersama, hari ini film tak lagi hanya sebagai suatu hiburan semata, kini film menjadi produk budaya yang tak jarang berkaitan dengan peristiwa yang terjadi di masyarakat.

Film pun kini sudah menjadi alat yang sangat potensial untuk menggiring opini publik, dan media kampanye yang diinisiasi oleh para politisi untuk menarik simpati pemilihnya. 

Melihat potensi yang besar pada film, maka kita sebagai umat Islam perlu memiliki inisiatif untuk memanfaatkan industri perfilman ini sebagai alat atau media dalam menyebarkan nilai-nilai kebaikan di tengah masyarakat, mengingat akhir-akhir ini banyak dari film-film yang ada bukan malah memperbaiki moral masyarakat, akan tetapi malah menimbulkan penyakit yang memperburuk moral dari masyarakat itu sendiri.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Khotibunnasi ‘ala qodri 'uqulihim‘’  (Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kadar kemampuan akal pikiran mereka) atau dalam pepatah mengatakan "Kootibunnas ‘ala lughotihim"  (Berbicaralah kepada manusia dengan bahasa mereka). Dari dua perkataan ini kita dapat menyimpulkan bahwa kita harus mampu mengajak masyarakat kepada kebaikan dengan berkomunikasi secara efektif, atau dengan kata lain, kita dapat menyesuaikan kondisi dan karakter masyarakat yang menjadi objek yang kita ajak tadi.

Maka jika kita lihat hari ini, banyak dikalangan masyarakat kita yang ketika diserukan kepada kebaikan melalui lisan (secara langsung) tidak mengindahkannya, akan tetapi mereka membutuhkan media  yang dapat menjadi perantara agar mau menerima apa yang kita serukan tadi. 

Dan diantara media yang efektif tersebut adalah industri perfilman ini. Maka, sudah sepatutnya kita sebagai umat Islam bukan malah menjauh dari industri ini, akan tetapi kita masuk kedalamnya dengan tujuan memanfaatkan industri ini sebagai sarana menyebarkan kebaikan di tengah masyarakat.

Oleh: Amro Labib (Kepala Departemen Kebijakan Publik KAMMI Komisariat LIPIA, 2019-2020)

Editor: Aziz Zulqarnain

Seminar Ekonomi Islam 5


Jakarta, 30/03/2020 - Salah satu paradigma gerakan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) menyatakan bahwa "KAMMI Adalah Gerakan Dakwah Tauhid", yang mana menjadi kewajiban bagi para kadernya untuk terus menggaungkan nilai-nilai keislaman dimanapun mereka berada, apapun profesinya. Atas dasar inilah Departemen Ekonomi KAMMI Komisariat LIPIA mengadakan acara Seminar Ekonomi Islam ke-5 (SEI 5). 

Acara ini rutin dilaksanakan setiap tahun, yang mana pada tahun ini acara bertempat di Kampus Bisnis Umar Usman, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, pada tanggal 15 Maret 2020 dengan mengusung tema "How does Startup Accelerate Islamic Economy" yang bertujuan untuk memperkenalkan bagaimana startup dapat mengakselerasi perekonomian islam sehingga turut membantu dalam menciptakan jenis-jenis usaha lain yang sesuai dengan syariat islam. 

Seminar kali ini meliputi 3 agenda utama. Agenda pertama berupa talkshow dengan mengundang Hassan Alaydrus (Baba Miwa) Owner Baba Mandi Rice. Agenda kedua, seminar seputar startup bersama Miqdad Rabbani, Manajer advokasi bisnis UKM Center FEB UI, dan agenda ketiga seminar Fikih Muamalah yang dibawakan oleh Emil Edhie Darma, Wakil Ketua Indonesia Syariah Fintech Institute (AFSI). 

Pembukaan seminar dipandu oleh Master of Ceremony dengan diawali pembacaan ayat suci Al-Quran, dan dilanjutkan dengan menyanyikan lagu 'Indonesia Raya'. Tidak lupa hadirnya para tamu undangan dan organisasi-organisasi ekstra kampus menambah khidmat kegiatan seminar. Tercatat sekitar 100 orang lebih yang hadir pada acara ini, baik laki-laki maupun perempuan. 

"Dalam beberapa kasus, perusahaan startup mendapatkan pembiayaan sebagai kebutuhan dalam usahanya. Namun, ternyata faktor ini hanya memiliki rasio kesuksesan sebesar 14%." Ujar Miqdad Rabbani, ketika menyampaikan faktor-faktor yang paling mempengaruhi suksesnya sebuah startup

Tidak kalah penting, yang membuat acara kali ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya adalah dengan adanya kerja sama dengan KSEI AKSES LIPIA yang turut membantu dalam menyukseskan acara hingga akhir. 

Karena acara ini juga berdekatan dengan peristiwa kemunculan wabah COVID-19 yang menjangkiti hampir 180 negara  --tak terkecuali Indonesia-- turut melengkapi hiruk pikuk rentetan agenda KAMMI Komisariat LIPIA. Tentunya hal tersebut sangat berdampak pada keseluruhan seminar ini. Tetapi patut disyukuri, dengan izin Allah SWT dan kerja keras panitia yang luar biasa, acara dapat berlangsung meriah dengan tidak melewatkan protokol kesehatan berupa pemeriksaan suhu tubuh dan pemakaian Hand Sanitizer bagi peserta dan panitia sebelum memasuki lokasi seminar. 

"Berlangsungnya acara ini tidak lepas dari kerja keras panitia dalam memecahkan berbagai problematika yang kita hadapi dan juga doa teman-teman semua hingga insyaallah acara dapat berjalan dengan baik." ucap Salman selaku ketua pelaksana pada Seminar Ekonomi Islam 5.

Disamping itu, rangkaian acara seminar juga dimeriahkan oleh penampilan grup nasyid ITTIHAD VOICE, yang diprakasai oleh Ali Hasbi sebagai kader KAMMI Komisariat LIPIA, sekaligus launching perdana untuk setelahnya dapat tampil kembali pada agenda-agenda lainnya.

Akhirnya, acara SEI 5 ini dapat terlaksana dengan meriah dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Tentu saja kita semua berharap agar setelah SEI 5 kali ini akan melahirkan para entrepreneur handal yang kelak dapat membawa perekonomian umat menuju arah yang lebih baik. Dengan membawa semangat kebesaran islam dan yakin akan datangnya masa ketika ekonomi islam dapat menjadi kiblat perekonomian di Bumi Pertiwi bahkan di Seluruh Dunia.

Bukankah sembilan dari sepuluh pintu rezeki datangnya dari wirausaha? Wallahu A'lam.

Oleh: Mu'adz Al Barro (Kepala Departemen Ekonomi KAMMI Komisariat LIPIA, 2019-2020)

Editor: Aziz Zulqarnain


Konspirasi Dibalik Gelar "Haji"



Mungkin diantara kita pernah ada yang mendengar pertanyaan seperti, “Mengapa orang indonesia yang telah melaksanakan ibadah haji harus dipanggil 'Pak Haji'?” atau mungkin pertanyaan seperti itu juga pernah terlintas dibenak anda, atau mungkin kita justru menambahkan, “Apa perlu karena saya telah melaksanakan ibadah salat lalu saya dipanggil 'Pak Salat'? Toh sama-sama ibadah, sama-sama terdapat pada rukun islam pula.”

Maka ketika pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul, ada saja orang yang menjawab dengan mudahnya, “Ibadah haji kan ibadah yang besar, ibadah yang memerlukan biaya besar pula, jadi maklumlah ada gelar haji, karena memang tidak semua orang mampu untuk melaksanakan ibadah haji. Lagian kalau  ibadah salat, semua orang juga pasti bisa dengan mudah melaksanakannya.”

Jika kita mencoba untuk mencari jawaban dari pertanyaan tadi dari sisi sejarah, maka kita akan menemukan sebuah fakta menarik yang selayaknya patut diketahui oleh setiap kaum muslimin di Indonesia ini. Sejarah yang berkaitan dengan kebiasaan pemberian gelar "Haji" bagi yang telah melaksanakan ibadah haji.

Kebiasaan pemberian gelar "Haji" ini bukan semata-mata sebuah kebiasaan yang disebabkan untuk mencari simpati dari pemilih (baca: dalam pemilu) supaya para pemilih menganggap calon pemimpin tersebut memiliki aura islami sehingga tidak diragukan untuk dipilih. Atau kebiasaan yang disebabkan agar masyarakat menganggap  orang-orang yang telah berhaji adalah pribadi yang suci dan patut dihormati. Akan tetapi, kebiasaan ini justru muncul ketika pemerintahan Hindia Belanda masih menduduki Nusantara.

Pemerintah Hindia Belanda kala itu menyadari adanya sebuah aktivitas berbahaya yang disebabkan oleh orang-orang yang pulang dari Makkah untuk melaksanakan ibadah haji. Pemerintah Hindia Belanda meyakini orang-orang ini merupakan orang yang kuat secara ekonomi, paham dalam keislaman, kuat dari segi keimanan, serta tangguh fisiknya.

Selain itu, orang-orang ini tidak hanya memikirkan pribadinya saja, akan tetapi mereka pun memikirkan bangsanya. Orang-orang ini bukan hanya membawa pulang oleh-oleh dari tanah suci berupa benda, akan tetapi mereka pun membawa nyala api perjuangan untuk tanah airnya. Hal ini terjadi sebagai akibat saat di tanah suci, mereka mendapatkan wawasan keislaman yang dalam, serta wawasan-wawasan lainnya, yang dengan wawasan itulah pemerintahan Hindia Belanda merasa terancam.

Oleh sebab itulah Pemerintah Hindia Belanda dalam Staatsbland tahun 1903 Masehi, mengharuskan kepada siapa saja yang pulang dari pelaksanaan ibadah haji untuk menambahkan gelar “Haji” di depan namanya. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan stempel atau identifikasi, agar mereka harus selalu dipantau dan akan terus diawasi setiap gerak-geriknya.

Sebelum hal ini dilakukan, Pemerintah Hindia Belanda pun telah mengeluarkan berbagai Oordonnatie 'peraturan' yang bertujuan untuk pembatasan ibadah haji bagi orang-orang Hindia Belanda (Indonesia), serta memantau aktivitas mereka sekembalinya ke Tanah Air.

Sekali lagi, hal ini dilakukan sebab kekhawatiran Pemerintah Hindia Belanda terhadap mereka yang telah kembali ke tanah air dari tanah suci. Para Haji itu juga hampir semuanya bergerak aktif dalam bidang kemasyarakatan, pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi, pengajaran agama, penyadaran kebangsaan, serta penguatan persatuan dan ukhuwah islamiah.

Untuk keperluan pengwasan yang lebih, maka Pemerintah Hindia Belanda mengambil langkah tegas dengan mengarantina seluruh jemaah haji yang hendak kembali ke tanah air di Pulau Onrust (Kepulauan Seribu) dan Pulau Khayangan (Makassar). Pulau-pulau tadi dijadikan sebagai gerbang utama jalur lalu lintas perhajian di Indonesia sebelum kapal-kapal membawa jamaah haji tadi ke daerahnya masing-masing.

Selain sebagai tempat karantina, pulau-pulau tadi dijadikan tempat perawatan dan peristirahatan bagi jemaah haji. Ada diantara jemaah haji yang memang dirawat dan diobati karena sakit akibat perjalanan. Namun, tak sedikit saat ditemukan, terdapat jemaah haji yang dinilai berbahaya oleh Pemerintah Hindia Belanda, mereka ini (jemaah haji yang dinilai berbahaya) akan disuntik mati dengan alasan yang beragam.

Maka tak jarang, banyak diantara jemaah haji yang tidak kembali ke Kampung halaman karena dikarantina di Pulau-pulau tadi. Dan jika kita lihat dari sejarahnya, kita akan menemukan mereka yang ditangkap, diasingkan, dan dipenjarakan oleh Pemerintah Hindia Belanda adalah mereka yang memiliki gelar "Haji".

Itulah sedikit dari sejarah munculnya tradisi pemberian gelar "Haji" bagi orang-orang yang telah melaksanakan ibadah haji di Indonesia ini. Jika kita tarik ketahun-tahun sebelumnya, kita bisa saja menemukan beberapa orang yang sudah terlebih dahulu memiliki gelar "Haji", akan tetapi pemberian gelar ini sangat masif terjadi ketika Pemerintah Hindia Belanda ingin memberikan indentifikasi terhadap jemaah haji yang telah membuat mereka khawatir.

Oleh karena itu, setelah ini mari kita coba renungkan kembali, bahwasannya leluhur kita telah memberikan contoh kepada kita, ketika merka telah melaksanakan ibadah haji, mereka bukan meminta dirinya untuk dipandang sebagai orang terhormat, atau diakui bahwa dirinya memiliki aura keislaman sehingga pantas untuk dipilih dalam pemilu. Akan tetapi, setelah melaksanakan ibadah, mereka membawa kebaikan terhadap umat dan bangsa, dengan berkiprah serta berderma bagi umat dan bangsa.

Oleh: Labib (Kadept. Kebijakan Publik KAMMI Komisariat LIPIA, 2019-2020)

Editor: Aziz Zulqarnain