Butir Pasir



Pernakah kita memandang sebutir pasir itu sebagai batu?

Mungkin kebanyakan manusia  malah memandang sebaliknya, mereka  malah memandang sebongkah batu sebagai pasir. Wajar jika mereka  berpandangan seperti itu. Sesuai logika, pasir adalah serpihan-serpihan batu. Ini karena mereka  berfikir sama seperti kebanyakan orang alias mainstream.

Al faqir dalam coretan ini hendak mengajak pribadi, dan kawan-kawan untuk berpandangan khoriju shunduq alias di luar dari yang orang biasa berpandangan. Berpandangan sebagaimana Kholid bin Walid memandang.

Alkisah pada perang Uhud dimana sebagian besar dari pasukan muslimin berpandangan bahwa pertempuran sudah dimenangkan oleh mereka. Pandangan yang sama terjadi pula pada pasukan musyrikin yang kala itu dipimpin oleh Kholid bin Walid. Disinilah pandangan anti mainstream dibutuhkan, dan Kholid Ibnil Walidlah sang pemilik pandangan ini.

Al-faqir berhusnuzan bahwa sebagai pemuda Islam sudah bukan rahasia lagi kisah kekalahan pasukan muslimin pada perang Uhud. Terlepas dari penyebab fatal kekalahan, yakni turunnya pasukan pemanah Muslimin dari bukit Uhud, ada sebab pendukung yang juga mengambil peran dalam kekalahan ini. Yaitu pandangan yang optimis oleh panglima perang pasukan musyrikin kala itu.

Melihat situasi kekalahan yang menimpa pasukan musyrikin di fase awal perang Uhud, Khalid bin Walid  justru menjadikan pelarian mereka dari medan pertempuran sebagai kekuatan untuk memukul balik pasukan lawan dengan memanfaatkan kelalain pemanah pasukan lawan. Hal ini tidak akan lahir kecuali dari mereka yang berpandangan luas dan anti mainsream. Akhirnya kekalahanpun berbalik arah mengampiri pasukan muslimin. lantas kemenangan merasa risih dengan hadirnya kekalahan, lalu memilih berbalik arah seratus delapan puluh derajat dan menghampiri pasukan musyrikin.

Masih dalam kisah yang sama, jika pemimpin pasukan musyrikin memiliki pandangan yang anti mainstream, di sana jauh sebelum perang berkecamuk, ada seorang yang berpandangan jauh melebihi pandangan manusia seisi bumi ini. Dialah Rasulullah -shallahu alaihi wa sallam- dengan keluasan pandangannya, beliau mewanti-wanti  pasukan pemanah agar tetap bertahan dan tidak turun dari bukit Uhud sebelum ada perintah dari Baginda Rasulullah apapun kondisinya, kalah atau menang hidup atau syahid. Dikarenakan Hubbud Dunya (cinta dunia) dan pandangan yang mainstream-lah pasukan ini lantas turun dari bukit Uhud guna mendapat harta rampasan perang yang berujung pada kekalahan pasukan muslimin.

Andai saja pasukan pemanah kaum Muslimin taat berpandangan sebagaimana  Rasulullah memandang mungkin Rasulullah  tidak sampai berdarah-darah pada perang tersebut, bahkan sempat beredar kabar bahwa beliau telah syahid kala itu.

Andai saja saat penaklukan Andalusia, pasukan Muslimin tidak menyisahkan sedikit saja pasukan kafir yang lari mengungsi ke pegunungan maka delapan abad peradaban Islam di Spanyol itu tidak akan runtuh.

Siapa  sangka tukang kayu kini berubah menjadi tukang jual aset Negara. “Kullu maalikin azdhim kaana thiflan baakian, wa kullu binaayatin azhimah kaana mujarradal hariithah.” " Semua pemimpin-pemimpin dunia, dulu adalah anak kecil yang hanya bisa merengek, dan seluruh bangunan-bangunan besar nan megah, dulu hanayalah sebuah gambar."

Sebagai pemuda pewaris peradaban, sudah seharusnya memiliki pandangan yang luas. Tidak seperti kebanyakan manusia, yang memandang batu adalah batu, dan pasir asalah pasir.


Oleh: Mahatir Ali Haniyah ( Staff Dept. Sosmas) 

WASPADA BERAMAL, BIJAKSANA MENILAI


Manusia di masa hidupnya tidak pernah tahu dimana tempatnya di akhirat kelak. Di sebaik baik tempatkah? Atau di seburuk-buruknya? Amalan dan perbuatan baiknya semasa hidupnya, belum tentu mengantarkannya ke surganya Allah swt kecuali jika ia memang mati dalam keadaan tersebut. Sebaliknya, amalan buruk seorang semasa hidupnya, tidak pasti membuat orang menuju neraka setelah kebangkitan kecuali ia memang mati dalam keadaan tersebut.

Satu peristiwa yang terjadi di perang Khaibar tahun 6 Hijriah membuktikan dua gambaran diatas.

Ibnu Ishaq menyebutkan kisah tersebut dalam sirohnya, yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. Bahwa ia berkata "Tatkala kami meninggalkan Khaibar bersama Rasulullah saw. Menuju Wadil Quro, kami singgah di sana sore hari menjelang terbenamnya matahari. Waktu itu Rasulullah saw ditemani seorang budaknya, yang dihadiahkan kepada beliau oleh Rifaah bin Zaid. Demi Allah, sesungguhnya budak itu tengah meletakkan barang bawaan Rasulullah saw ketika tiba-tiba melesat ke arahnya sebatang anak panah yang nyasar, lalu mengenainya sampai ia tewas. Kami pun berkata, 'Beruntunglah ia mendapat surga.'

Akan tetapi Rasulullah saw langsung membantah, 'Tidak, demi Allah Yang menggenggam jiwa Muhammad, sesungguhnya selimutnya sekarang benar-benar sedang bernyala api atas dirinya. Selimut itu dia ambil secara curang dari harta fa’i yang diperoleh kaum muslim dari musuh di Perang Khaibar.’ Pernyataan Nabi saw. itu didengar oleh salah seorang sahabat Rasulullah saw. lalu dia datangi mayat budak itu. Ia berkata ‘Ya Rasulullah saw, saya mendapatkan sepasang tali sandalku.’

Rasululllah saw. bersabda. ‘Kelak dalam neraka, akan dipotongkan untukmu yang serupa dengan sepasang tali sandalmu itu..’” Inilah gambaran pertama, yang menegaskan bahwa tidak selamanya seorang yang terlihat baik, ternyata mendapati dirinya dijanjikan dirinya masuk neraka oleh Rasulullah saw.

Di dalam riwayat yang lain, Ibnu Ishaq mengisahkan satu riwayat pembandingnya, yaitu tentang seorang budak lain bernama Al Aswad yang datang menghadap Rasulullah saw dan berkata, “Ya Rasulullah saw, terangkanlah Islam kepadaku.” Rasulullah saw. pun menerangkan Islam padanya, lalu dia masuk Islam. Setelah ia masuk Islam, dia berkata, “Ya Rasulullah saw, sesungguhnya saya ini seorang buruh yang bekerja pada pemilik (yahudi) kambing-kambing ini. Binatang-binatang ini merupakan amanat kepadaku. Apa yang harus saya lakukan terhadap mereka?” “Pukullah wajah binatang-binatang itu, sungguh mereka pasti akan pulang kepada pemiliknya.” Demikian jawab Rasulullah saw.

Mendengar saran Rasulullah saw, bangkitlah ia lalu mengambil batu kerikil sepenuh kedua telapak tangan dan dia lemparkan ke muka kambing-kambing itu seraya berkata, “Pulanglah kamu kepada tuanmu. Demi Allah, aku tak sudi lagi menemanimu buat selama-lamanya.” Kambing-kambing itu pun pulang semuanya, seolah ada yang menggiring mereka hingga masuk ke dalam benteng.
Sesudah itu, majulah Al Aswad ini mendekati benteng Khaibar itu untuk ikut bertempur bersama kaum muslimin. Malang, dia tertimpa batu lalu gugur, padahal ia belum pernah shalat sama sekali. Jenazahnya lalu dibawa dan diletakkan di belakang Rasulullah saw. dengan ditutupi selimut yang dipakainya. Rasulullah saw berkenan melihatnya bersama beberapa orang sahabatnya. Tiba-tiba beliau berpaling dari mayat itu. Para sahabat pun bertanya, “Ya Rasulullah, mengapa anda berpaling darinya?” Rasulullah menjawab, “Sesungguhnya ia sekarang sedang ditunggui dua orang istrinya dari bidadari.”

Syaikh Munir al Ghadhban-rahimahullah­-mengomentari kisah ini dalam Manhaj Harakinya, bahwa inilah dua gambaran yang kontras dari dua orang budak yang ada dalam barisan bala tentara pasukan Islam. Keduanya sangat unik dan mengagumkan. Yang seorang adalah budak Rasulullah saw. sendiri yang terbunuh di hadapan beliau, yang menurut lahiriahnya patut mendapat ucapan selamat karena akan masuk surga. Yang lain ialah seorang budah Yahudi, yang sama sekali belum pernah melakukan shalat dan terbunuh di depan pintu benteng dari mana ia berasal.

Walau demikian, selimut yang diambil secara curang oleh budak Rasulullah saw. itu cukup menjamin dia bakal terbakar oleh selimut itu sendiri dalam neraka dan menyebabkan dia tidak mendapat surga. Bahkan, bakti dan khidmatnya kepada Rasulullah saw. maupun keberadaannya selama ini dalam barisan kaum muslimin tidak bisa memberinya syafaat.

Sementara itu, sifat amanat dari budak Yahudi itu telah berubah menjadi karamah baginya, berupa pelemparan batu kerikil sepenuh dua telapak tangan yang dia lemparkan ke muka kambing-kambing itu. Dia lalu masuk Islam, bersih dari ke-yahudian, dan dosa-dosanya selama ini menjadi musnah, berkat berpegang teguh pada amanat yang luhur tersebut. Semua itu tidak berlangsung lama, hanya sebentar. Budak Yahudi itu pun maju ke medan pertempuran dan langsung terbunuh. Datanglah kepadanya kedua istrinya dari bidadari dan dengan sikap yang genit digandengnya budak itu menuju surga.

Hai Para Pemuda Aktivis Da’wah Islam!

Hendaklah pelajaran tersebut senantiasa hidup dalam jiwa kita sekalian. Bahwa kesalahan sedikit apa pun bisa saja menjeremuskan ke dalam neraka walaupun hanya sehelai selimut yang diambil dari harta rampasan perang, yang tidak seberapa harganya sekalipun. Kesalahan yang sedikit itu bisa mengakibatkan tidak tertolongnya seorang oleh syafaat dari aktifitasnya dalam da’wah atau jerih payahnya dalam perjuangan maupun posisinya dalam struktur tandzhim.

Adapun istiqomah dalam menempuh manhaj Islam meski hanya sebentar dan sekalipun dilakukan oleh orang yang dulunya merupakan musuhmu yang paling gigih memusuhimu, itu sudah cukup menjamin bahwa orang itu mati syahid di jalan Allah, tanpa dihalangi oleh sikapnya yang dulu ketika dia memusuhi habis-habisan terhadap Islam, bahkan ia tidak perlu memiliki aset ketaatan ataupun ibadah. Niat yang jujur dan tekad yang kuat untuk istiqomah itu saja sudah cukup dalam timbangan Allah untuk menjamin dia masuk surga. Dalam hal ini, kita tidak perlu melihat fenomena lahiriah karena Allah Ta’ala tidak melihat rupa maupun amal, tetapi justru mempperhatikan hati kita.

Sekarang, sudah saatnya bagi pemimpin gerakan Islam untuk tidak berlebihan dalam menilai pribadi-pribadi-khususnya para aktivis gerakan-dengan hanya melihat senioritas struktural sehingga prajurit ini dinaikkan ke tingkatan tertinggi tanpa mempedulikan tingkah laku moral maupun tarbiyahnya.
Sekarang, sudah saatnya juga bagi para pemuda gerakan Islam untuk tidak berlebihan dalam menolak memberikan kepercayaan kepada seseorang yang baru masuk ke dalam barisan. Misalnya dengan tidak mempercayainya sama sekali karena belum melewati jenjang struktural yang ada dalam jamaah. Hal ini karena bisa jadi seorang naqib (pemimpin) justru tergolong ahli neraka, sedangkan anggota baru, yang masik tampak bekas perlawanannya terhadap Islam itu, justru tergolong ahli surga.

Sekarang, sudah saatnya bagi kita untuk lebih berhati-hati dalam beramal dan bijak dalam menilai!

oleh: M.Saihul Basyir (Ketum Kammi Lipia)

Arkaanul Istibdaad : Rukun-Rukun Kehancuran


Al Quran Al Karim turun kepada Rasulullah saw untuk disampaikan isinya kepada seluruh alam semesta, seluruh manusia. Agar seluruh manusia mengambil pelajaran darinya, karena ia merupakan kitab petunjuk hidup. Life Guidance, petunjuk hidup di dunia dan akhirat, petunjuk agar kita selamat dari fitnah di dunia dan dari azab di akhirat.

Termasuk dari petunjuk yang ada di dalam Al Quran adalah adanya kisah-kisah para Nabi dan Rasul yang nyata terjadi dalam lembaran sejarah kehidupan manusia. Kisah-kisah kepahlawanan yang terkisah dalam Al Quran bukanlah dongeng, ia memang kisah nyata yang terjadi, sehingga nilai-nilai kepahlawanannya pun juga nyata, ia nyata terjadi dan nyata untuk diamalkan. Inilah yang kemudian menjadikan bahwa Al Quran bukanlah buku sejarah, walau di dalamnya ayat-ayat yang berbicara tentang sejarah lebih banyak dari ayat-ayat Ahkam (hukum-hukum). Karena tujuan penyebutan sejarah tersebut dalam Al Quran adalah untuk dijadikan pelajaran.

Dan dari banyaknya kisah tersebut ada sebuah kisah agung yang terulang banyak dalam Al Quran, yakni kisah Musa dan Firaun. Kisah yang terulang di banyak surat dalam Al Quran yang menurut para ulama tafsir menjadi kisah yang paling banyak terulang melebihi kisah-kisah kenabian lainnya. Bahkan Al Quran secara terus terang menyebut bahwa Al Quran ini adalah kisah tentang Bani Israil (kaumnya Nabi Musa as) kepada mereka sendiri.

Sesungguhnya Al Quran ini menjelaskan kepada Bani Israil sebagian besar perkara yang mereka perselisihkan” (QS. An Naml: 76)

Maka seharusnya tiap muslim yang membaca Al Quran mentadabburi apa yang mereka baca ketika mereka melewati ayat-ayat yang berkisah tentang Musa dengan kaumnya. Mentadabburi maknanya dan mengambil pelajaran apa yang sesuai dengan yang terjadi di masa sekarang.

Asy Syaikh Muhammad Hasan Waladid Didu Asy Syinqithi –hafizahullah- seorang ulama kontemporer asal Mauritania ketika menafsirkan surat Al Qashash yang didalamnya menjelaskan kisah Nabi Musa as. dengan Firaun memberikan tadabbur yang indah, bahwa ternyata kisah Nabi Musa dan Firaun yang banyak terulang dalam Al Quran sesungguhnya menjelaskan kepada kita bahwa sebuah sistem kekuasaan tertentu tidak akan dihancurkan oleh Allah swt. sebelum terpenuhi di dalam kehidupan mereka lima rukun, yang disebut oleh beliau dengan Arkaanul Istibdad (rukun-rukun kehancuran).

Dimana rukun-rukun ini jika terpenuhi pada satu sebuah sistem kekuasaan atau peradaban tertentu maka bisa dipastikan sistem kekuasaaan tersebut akan hancur lebur. Dan contoh terbaik yang pernah ada yang mengisahkan tentang hal ini adalah kisah Musa dengan Firaun.

Jika kita perhatikan kisah tersebut seksama di banyak surat Al Quran (Al Baqarah, Yunus, Ibrahim, Thahaa, Asy-Syuaara, Al Qashsash, Ghafir, An Naziaat, dsb.) kita akan menemukan bahwa kehancuran (istibdad) firaun dan kaumnya terjadi ketika terpenuhi kelima rukun tersebut.

Pertama, Raja yang sombong dan berkuasa, yang memiliki tanah kekuasaan beserta semua yang hidup diatasnya dan semua yang ada di dalamnya, dan rukun pertama ini ada pada diri Firaun. Sebagaimana kita baca dalam setiap tafsir, bahwa Firaun mengelola tempat dimana ia berkuasa dengan semena-mena, ia memperbudak rakyat Mesir, dalam hal ini bangsa Israil dan menguras sumber daya mereka dengan cara otoriter dan zhalim. Ia menindas mereka dengan siksaan yang pedih, menyembelih setiap anak-anak lelaki yang lahir dari rakyatnya sendiri dan kemudian mengaku bahwa dirinya adalah Tuhan Yang Paling Tinggi.

Kedua, Menteri atau pembantu Sang Raja yang munafik dan penjilat, yang berusaha mewujudkan semua keinginan si Raja dan menjanjikan padanya bahwa ia mampu mewujudkan semua keinginan tersebut padahal faktanya tidak bisa, dan rukun kedua ini dilakoni oleh Haman. Haman si Menteri Firaun yang dalam surat Ghafir ayat 36-37 diceritakan bahwa ia diminta oleh Firaun untuk membangunkan untuknya menara yang tinggi lagi besar agar ia bisa naik ke langit dan membuka pintu-pintu langit, dan kemudian menantang Tuhannya Musa as. Haman pun menuruti perintah tuannya, membangunkan untuknya menara yang tinggi untuk dinaiki oleh Firaun, yang pada akhirnya, usaha tersebut berujung pada kehancuran Firaun dan menaranya “..dan tipu daya Firaun itu tidak lain hanyalah membawa kerugian.” (Ghafir: 37)

Ketiga, Konglomerat kaya yang memiliki banyak lahan usaha dan harta yang kemudian hasil dari pengelolaan hartanya digunakan untuk memperkuat kekuatan dan kezaliman sang penguasa, dimana rukun ketiga ini di masa tersebut terlakoni dalam diri Qorun. Di dalam surat Al Qashash ayat 76, dikisahkan bahwa kekayaan Qarun begitu banyak sehingga kunci perbendaharaannya saja harus dipikul oleh puluhan budak lelaki. Hal ini mengisyaratkan bahwa harta kekayaannya digunakan untuk memakmurkan perbudakan dan kezaliman yang terjadi di masa tersebut.

Keempat, Sekelompok ahli agama yang menggunakan ilmu agamanya untuk melegitimasi aturan-aturan penguasa yang zhalim dan menindas rakyat, dan legitimasi yang mereka lakukan tidak ada ada yang mengingkarinya, rukun keempat ini ada pada diri para tukang sihir sebelum mereka beriman. Para penyihir ini sebagaimana dikisahkan dalam rentetan ayat 37-47 surat Asy-Syuaara, bahwa mereka menantang Musa berduel di arena terbuka untuk mengadu “ilmu sihir” siapa diantara mereka yang lebih kuat. Semua golongan rakyat dari para pembesar sampai para budak diundang untuk menyaksikan duel terbuka tersebut. Dan di akhir, para tukang sihir ini kalah dan mereka masuk Islam. “..kemudian Musa melemparkan tongkatnya, maka tiba-tiba ia menelan benda-benda palsu yang mereka ada-adakan itu. Maka tersungkurlah para penyihir itu, bersujud.” (Asy-Syu’aara: 46-47)

Dan kelima, Sekelompok orang yang bekerja secara beramai-ramai untuk menyebarkan informasi secara luas setiap kejadian yang terjadi menguntungkan penguasa yang zalim. Dan rukun kelima ini ada pada kelompok yang dalam banyak tafsir disebut dengan kelompok Hasyidun (gerombolan manusia). Mereka inilah yang dalam Asy-Syuaara ayat 39-40 berkata “..berkumpulah kalian semua, agar kita mengikuti para penyihir itu jika mereka yang menang”. Mereka akan menyebarkan informasi ke seluruh penjuru negeri hanya jika para penyihir menang. Jika mereka kalah, maka mereka tidak menyebarkannya.

Itulah kelima rukun kehancuran yang diceritakan dalam Al Quran dalam banyak potongan kisah Nabi Musa as dengan Firaun. Yang jika kelima rukun tersebut terjadi pada sebuah masyarakat dimanapun tempatnya dan kapanpun terjadinya, maka kehancuran pasti akan terjadi pada mereka. sebagaimana  kehancuran yang terjadi pada firaun dan bala tentaranya.

Oleh karenanya Allah swt. berfirman dalam surat Al Qashsash ayat 5 “Dan kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di muka bumi ini, dan kami jadikan mereka orang-orang yang mewarisi”. Dalam redaksi ayat ini, Allah swt tidak menggunakan kalimat “kaum Bani Israil”, akan tetapi Allah swt. menggunakan redaksi yang lain, yakni “orang-orang yang tertindas di muka bumi”. Ini mengisyaratkan bahwa kehancuran yang terjadi pada kaum Firaun juga bisa terjadi pada setiap kaum di manapun di muka bumi ini. Selama mereka sama dalam satu hal, yakni menindas orang-orang lemah dengan menggunakan seluruh perangkat sistem kekuasaan, mereka akan hancur.
Maka pada hari ini, jika kelima rukun tersebut kita konfersi maka rukun pertama adalah para penguasa otoriter yang menindas rakyatnya, yang memberlakukan kebijakan yang tidak pro rakyat dan semena-mena, tetapi sebaliknya kebijakan yang mereka berlakukan hanya menguntungkan kelompok mereka. Rukun kedua adalah para menteri dan pembantu para penguasa yang bertugas menjalankan kebijakan penguasa dan membantunya menipu rakyat. Rukun ketiga adalah konglomerat dan pengusaha yang menjadi penyokong penguasa zalim, yang hari ini mereka menjelma menjadi cukong-cukong kaya yang memodali para politisi buruk untuk maju melenggang menempati kursi-kursi kekuasaan.

Rukun keempat adalah para ulama suu’, atau orang-orang yang memiliki ilmu namun mereka menggunakan ilmu mereka untuk menempel pada penguasa, fatwa-fatwa mereka mengikuti kemauan penguasa, sekalipun penguasa tersebut zalim dan fatwa yang keluar bertentangan dengan risalah asli kenabian-tauhid dan maqashid syariah. Dan rukun kelima, adalah media massa yang setiap hari memproduksi berita-berita hoaks dan memfitnah kelompok kebenaran. Yang dengan berita-berita yang mereka produksi penguasa yang zalim pun diuntungkan. Atau dalam bentuk yang lebih buruk, media massa ini memang sudah “dibayar dan dibeli” oleh pemerintah.

Dua kelompok terakhir-ulama dan media massa-seharusnya adalah kelompok yang memiliki independensi dalam melakukan aktifitas mereka, karena kedua posisi ini erat kaitannya dengan  pandangan publik. Mata masyarakat dan telinga publik setiap saat menunggu dan mengawasi apa yang kedua kelompok ini lakukan.

Maka pertanyaan selanjutnya, apakah kelima rukun istibdaad ini sudah ada di tubuh bangsa ini? Marilah kita melihat lebih jernih apa yang sesungguhnya sedang terjadi pada masyarakat kita, yang disebut dalam terminoogi ulama sebagai ayat-ayat kauniyyah dan kemudian kita integrasikan dengan ayat-ayat qauliyah yang ada dalam Al Quran Al Karim.

Sehingga umat Islam yang mayoritas di negeri ini mampu mengambil pelajaran darinya dan terhindar dari kehancuran yang Allah swt. janjikan dalam Sunnatullah-Nya. Dan dalam kasus ini, mari kita sama-sama berdoa dan berharap bahwa suatu saat dari tempat atau pelosok negeri ini muncul Musa-Musa yang baru, yang dengan izin Allah swt. akan menyalamatkan orang-orang yang istiqomah dengan ajaran kitab suci mereka. Amin.

“dan (juga) Qarun, Fir´aun dan Haman. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka Musa dengan (membawa bukti-bukti) keterangan-keterangan yang nyata. Akan tetapi mereka berlaku sombong di (muka) bumi, dan tiadalah mereka orang-orang yang luput (dari kehancuran itu).
Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (Al Ankabut: 39-40).


Oleh : M. Saihul Basyir (Ketum Kammi Lipia )