Evolusi Pendidikan Islam di Indonesia













Pendidikan Islam atau pengajaran ajaran Islam di Nusantara sudah terjadi semenjak orang-orang Arab datang ke Nusantara untuk menyebarkan Islam pada abad pertama Hijriyah atau tujuh Masehi. Seiring dengan berjalannya waktu, maka dirasa perlu sebuah tempat khusus yang digunakan untuk menampung masyarakat yang ingin atau sedang belajar Islam. berawal dari situlah maka didirikan sebuah tempat yang dinamakan pesantren.

Menurut Manfred Ziemik dalam bukunya Pesantren dalam Perubahan Sosial, mengatakan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional yang lahir dan tumbuh berbarengan dengan datangnya Islam ke Tanah Jawa. Dengan demikian, pesantren merupakan lembaga pendidika tertua dan asli (indegenous) di masyarakat Indonesia. [Manfred Ziemik, Pesantren dalam Perubahan Sosial terj. Butche B Soendjoyo ( Jakarta: P3M, 1986), hlm.100].

Dengan demikian, pesantren merupakan produk original dari Islam dan bukan budaya Hindu-Budha sebagaimana desas-desus selama ini. Jika memang pesantren merupakan budaya atau metode yang digunakan Hindu-Budha tentu saat ini kita akan menjumpai banyak pesantren di Provinsi Bali, namun pada kenyataannya tidak ditemukan di Bali satu pun pesantren yang mengajarkan ajaran Hindu.

Selanjutnya, jika pesantren adalah produk dari pemikiran intelektual para da’i, siapakah yang pertama kali mencetuskan berdirinya pesantren di Nusantara? Dalam hal ini, Mahmud Yunus menyebutkan bahwa Maulana Malik Ibrahim (Syaikh Maghribi) adalah ulama yang pertama kali mendirikan pesantren di Jawa. Sedangkan menurut Muhammad Said dan Juniar Affan menyebutkan bahwa Sunan Ampel adalah pendiri pesantren pertama kali di tanah Jawa. [Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam diIndonesia (Jakarta: Hidaya Karya Agung, 1985), hlm. 231].

Pada masa awal berdirinya pesantren, pelajaran-pelajaran yang menjadi fokus para santrinya adalah pelajaran agama yang meliputi berbagai macam cabang ilmu seperti; Tafsir, Hadits, Fiqih, dan lain-lainnya. Dengan demikian pada masa awal pesantren hanya memiliki lima unsur yang tidak bisa dilepaskan, yaitu; 1) Kiyai, 2) Santri, 3) Kitab-kitab klasik/kuning, 4) Masjid dan 5) Asrama. [Nur Kholis Masjid, Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta, LP3ES, 1994, hlm. 5].

Dengan demikian maka fokus para santri dalam pesantren hanya berkutat pada hal yang berbauh pelajaran agama. Namun seiring dengan berjalannya waktu dan tuntutan, maka pesantren juga diharuskan untuk mengevolusi struktur dan sistem pembelajarannya. Hal ini dimaksudkan supaya pesantren tidak ketinggalan zaman dan terkesan kampungan dan norak. Pemodernisasian pesantren menjadi sangat penting apalagi di era yang serba modern seperti zaman sekarang ini, hal ini sangat berguna untuk meningkatkan daya juang para santrinya sehingga mempunyai wawasan dan cara pandang yang lebih luas dari sebelumnya.

Awal mula tuntutan pemodernisasian sistem pendidikan di pesantren berawal ketika penjajah Belanda mendirikan sekolah-sekolah (HIS –Holland Inlandsche School-, Mulo, dan sejenisnya) yang hendak menggeser pola pikir masyarakat Indonesia dari pendidikan agama menuju pendidikan umum yang terkesan sekuler. Maka akan sangat bahaya jika pesantren stagnan pada historisnya sebagai tempat yang hanya mengajarkan ilmu agama tanpa memandang cabang-cabang ilmu lainnya. Berangkat dari sosio-historis yang baru, maka pada tahun 1915 Syeikh Abdullah Ahmad dari Padang Panjang mendirikan sebuah sekolah yang memadukan antara ilmu agama dan ilmu umum. Sekolah tersebut, beliau namakan sekolah Adabiyah. Untuk mendukung pembaharuan sistem pesantren, beliau merekrut empat guru yang berlatar belakang pendidikan dan berkebangsaan Belanda. [Azyumardi Azra, “Surau di Tengah Krisis: Pesantren dalam Perspektif Masyarakat” dalam M. Dawam Rahardjo, (ed), Pergulatan Dunia Pesantren : Membangun Dari Bawah (Jakarta: P3M, 1985), hlm. 169.]

Selanjutnya, ada juga sosok KH. Ahmad Dahlan di Kauman yang mengadopsi sistem pembelajaran Belanda dengan menggunakan media-media pembelajaran Modern seperti bangku, meja, dan pengkelasan atau pengelompokan sesuai dengan tingkatan murid. Sementara itu di Ponorogo Jawa Timur, ada tiga bersaudara yang mendirikan pesantren Modern yang kemudian diberi nama Pesantren Modern Gontor. Beliau bertiga, Kiai Ahmad Sahal, Kiai Zainuddin Fanani dan Kiai Zarkasyi, berusaha untuk mengintegralkan pendidikan bukan hanya pada pemahaman bahasa Arab saja, melainkan juga mengajarkan bahasa Inggris.

Pemodernisasian pendidikan di pesantren ini sebenarnya bukan hanya tuntutan atau politik penyeimbangan yang digunakan oleh para ulama untuk melawan politik sekulerisasi kolonial belanda, melainkan juga sebuah tuntutan dari ajaran Islam itu sendiri. Sebab pada hakikatnya, Islam adalah agama yang lengkap. Semua cabang ilmu, baik itu ilmu agama maupun ilmu sosial dan sains semuanya sudah terdapat patokan-patokan dasarnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Adapun cabang-cabang ilmu modern dan penemuan-penemuan modern hanya sebagai akibat dari penafsiran nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah yang mengindikasikan sebuah cabang ilmu modern tersebut (nash yang bersifat umum dan multi tafsir).

Selain sesuai dengan tabi’at Islam yang lengkap yang mencakup semua lini ilmu, pemodernisasian pesantren juga bertujuan untuk menjadikan pesantren lebih banyak lagi peminatnya. Seperti kita ketahui pada saat ini banyak sekali orang tua yang enggan untuk menyekolahkan anaknya di pondok pesantren akibat persepsi yang mengatakan bahwa pesantren merupakan tempat terpencil yang membuat anak terkungkung dan tidak bisa maju. Orang tua zaman sekarang juga banyak yang beranggapan bahwa dengan belajar di pesantren bisa merusak masa depan sang anak karena yang diajarkan hanyalah pelajaran-pelajaran agama

Untuk menjawab keraguan dan ketakutan orang tua tersebut, maka pesantren sebagai benteng ajaran Islam di Indonesia harus memulai untuk merombak sistem pembelajarannya dengan syarat tradisi keIslaman tersebut tetap ada dan tanpa tergeser satu senti pun dari tempatnya. Dalam hal ini kita bisa mengambil contoh dari Pondok Pesantren Sunan Drajat, di Lamongan Jawa Timur. Saat ini Pesantren Sunan Drajat bisa dijadikan sebagai model percontohan yang ideal. Pondok itu disamping sangat intensif mengajarkan agama Islam, juga tidak ketinggalan memberikan bekal ilmu umum yang sangat berguna bagi masa depan para santrinya. Sekarang Pondok pesantren yang diasuh oleh KH. Dr. Abdul Gofur ini memiliki stasiun Radio, Televisi dan juga mempunyai berbagai bentuk pembelajaran umum lainnya.

Hal ini juga didukung oleh kebijakan pemerintah lewat undang-undang pendidikan nasional nomor 2 tahun 1989 yang mewajibkan sekolah-sekolah agama (Madrasah dan pesantren) untuk memberikan 50 persen untuk pelajaran Agama dan 50 persen untuk pelajaran umum. Namun jika kita menyamakan porsi keduannya tentunya akan ditakutkan pelajaran agama akan sedikit terbengkalai. Karena pondok pesantren mengharuskan santrinya tinggal di asrama maka pendidikan di siang hari bisa diintensifkan untuk umum dan pada malam hari bisa untuk pendidikan agama. Dengan cara ini, diharapakan tidak terjadi ketimpangan kemampuan santri. Sehingga para santri atau siswa keluaran pondok pesantren tidak kalah saing dengan sekolah-sekolah umum bahkan memiliki kelebihan yakni dalam bidang agama.

Begitulah pendidikan islam. Islam tidak pernah mengenal adanya dikotomi antara wahyu dan akal. Pelajaran agama dan pelajaran umum. Tradisional dan modern. Dunia dan akhirat. Namun islam adalah agama yang lengkap, selalu cocok untuk setiap masa dan tidak akan pernah bertentangan dengan spirit modernisasi yang semakin maju dan berkembang sehingga pesantren tidak hanya berkutat pada kiyai, santri, kitab kuning, masjid dan asrama melainkan juga berkutat pada laboratorium, lapangan penelitian, internet, dan seabrek fasilitas modern lainnya. Dengan spirit tradisi keilmuan islam yang syamil tersebut, diharapakan para orang tua kembali memilih pesantren sebagai rujukan utama untuk pendidikan anak-anaknya sebab pesantren modern tidak hanya mengajari santrinya membaca kitab gundul namun juga mengajari mambaca peluang usaha. Tidak hanya mengajari santrinya cara beribadah (Mahdhoh) tapi juga mengajarinya berwirausaha. Sehingga, sekali lagi, pesantren mampu menghadirkan dokter, insinyur, direktur, tentara, dan profesi lainnya yang memiliki pemahaman agama yang mumpuni. Wallahu A’lam...


Penulis : Hilal Ardiansyah Putra (kadept KP KAMMI komsat LIPIA)



Share this

Related Posts

Previous
Next Post »