Sang Pemimpin



Manusia suatu saat nanti pasti akan bertempat dan bermuara di kuburan, itu adalah ketetapan yang tak bisa di pungkiri. Acap kali manusia melewati kuburan, berkali-kali atau bahkan setiap harinya, akan tetapi pernahkah dia sadar, bahwa disinilah dia akan kembali?.


 Manusia selalu sibuk dengan berbagai jurusan jalan.  Angkutan A ke jurusan ini, angkutan B ke jurusan itu, jika salah ambil jurusan maka akan nyasar ke ini. Manusia kadang benar-benar tak sadar bahwa jurusan yang begitu dekat dan nyata, yakni kematian adalah kepastian dibandingkan jurusan yang bisa jadi ia salah dalam mengambil angkutan.

Banyak angkutan di kota-kota besar, seperti Jakarta ini luar biasa ugal-ugalannya. Angkutan-angkutan umum ini masih seperti sediakala: sering begitu ngebut jika memburu waktu, akan tetapi bisa sangat lambat seperti keong jika menyisir penumpang. Jalan-jalan yang ada seakan dikangkangi sendiri., tak peduli di belakangnya antrean makin macet dan parah.

Jika sedang terburu-buru angkutan-angkutan itu bisa sedemikian membahayakan, jika sedang sabar, angkutan yang begitu sabar tersebut dapat memacetkan jalan.

Angkutan-angkutan yang ada hanya menyebabkan dua hal di jalan;  “Sabar sekali atau ngebut sekali.” dua hal yang sama-sama yang dapat menimbulkan kejengkelan plus kemangkelan sesama pengguna jalan. Menurut hitungan kasar, jika sopir angkutan ini mati dalam keadaan demikian, bekal matinya adalah kejengkelan sesama pengguna jalan. Mati di iringi sumpah serapah dan kejengkelan tentu bukan kematian yang mengasyikkan.

Tetapi nalar kita seharusnya tidak sampai disitu. Sebab kenapa sopir melakukan demikian pastilah ada penyebabnya. Hal itu tentu karena ulah juragannya yang menarik setoran tinggi tiap harinya, yang memberinya upah tak seberapa. maka, dijalanan, sopir-sopir angkutan ini hanya terpaku dalam mengejar setoran ketimbang kepada aturan jalan raya. Akhirnya, banyaklah angkutan umum yang menempelkan stiker yang meminta para penumpangnya untuk selalu mengerti dan memahami kenapa mereka harus “disiksa”, stiker penengahnya adalah: “Anda butuh waktu, kami butuh uang”, jlebb banget deh.

Ternyata kita lagi-lagi harus memahami, perilaku juragan yang demikian kejam terhadap sopir-sopirnya  itu pastilah tak sendiri. Kenapa ia menarik setoran demikian tinggi kepada sopirnya sedangkan upahnya tak seberapa, hal itu tak sebanding dengan sumpah serapah yang sopir dapatkan sehari-hari.  Semua  itu tentu karena modal usahanya yang besar, sogok sana-sini untuk mendapat izin trayeknya usaha, harga bahan bakar kendaraan yang melambung tanpa nalar yang jelas, hukum yang mengambang. Hal inilah kenapa ada efek manusia sudah berubah menjadi siluman yang begitu kejam. Ia berbuat kejam dan sadis karena sebab adanya kekejaman lainnya. Pengusaha yang menjadi kekejaman ini pasti akan ganti mengejami bawahannya. Dan bawahan dalam bentuk sopir ini, ganti mengejami manusia-manusia jalanan.

Jalan raya adalah sekelumit miniatur dalam kehidupan kita, ada banyak kekejaman dalam hidup ini yang kita saksikan.

Pertukaran kekejaman itu akan terus berlanjut selama akar yaitu penguasa menggunakan kekejamannya,  menjadi karakternya. Pemimpin yang kejam, akan menimbulkan efek kekejaman ke tingkat paling bawah sekalipun. Dan, memang seperti itulah adanya,bahwa kekejaman penguasa itu akan ber-efek kepada kekejaman lingkungan dan sendi-sendi kehidupan.

Kejamnya penguasa saat ini adalah satu hari dimana nanti akan kita lihat kejamnya manusia-manusia di sekitar kita, cepat atau lambat.

Jadi, jika muara kita adalah kuburan, mengapa kita harus berbagai kekejaman dan kedzaliman?.

Tetapi sebaliknya, jika pemimpin itu baik, maka kebaikan itu akan ber-efek kepada seluruh lapisan, seluruh pola pikir masyarakatnya, dan seluruh ruang gerak kehidupan.

Sebuah rasa optimis selalu tumbuh disendi-sendi kehidupan orang yang merindukan perubahan kearah yang lebih baik. KAMMI Komisariat LIPIA mencoba menghadirkan pemimpin-pemimpin masa depan yang akan berkiprah membangun negri ini di masa mendatang. Hal yang di coba dituangkan dalam Musyawarah Komisariat LIPIA XV, dengan ada  Ketua baru yang melingkupi komunitas kecil ini akan ber-efek bola salju di kemudian hari.

Jadi, jika dengan bersama-sama kita seharusnya bisa menebar kebaikan, kenapa kita harus bersama-sama mendiamkan kedzholiman?.

Jika dengan bergerak menebar kebaikan kita bisa merasakan kedamaian, apa salahnya kita tebar benih lebih banyak?, agar nanti dikemudian hari benih itu akan tumbuh kokoh dan menghasilkan buah yang berkwalitas baik.

Wallahu a’lam.

Jakarta, 26-April-2015.
Ahmad Amrin


Share this

Related Posts

Previous
Next Post »