Jatipadang (8/2) – Langit sore
itu carah, secerah wajah para peserta dan panitia yang mengikuti agenda
Madrasah KAMMMI 2 (MK 2) yang diadakan oleh KAMMI Daerah Jakarta pada Jum’at
sore 8 Februari 2013. Acara ini diadakan sebagai follow up dan program rutin
dari Departemen Kaderisasi.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 16.30 WIB, namun baru ada
beberapa peserta yang berdatangan. Di bilik ikhwan malah hanya ada 3 orang :
pembicara, ketua KAMMI Jakarta dan satu orang peserta. Menjelang acara ada
obrolan-obrolan ringan dan bincang-bincang dari para peserta.
Jam 17.00 WIB acara pun dimulai, meskipun dengan jumlah peserta
yang tidak seberapa namun tidak mengurangi gairah dari acara tersebut. Setelah
dibuka oleh MC, acara dilanjutkan dengan penyampaian materi MK 2 oleh Ust.
Faris Jihadi, Lc., alumni KAMMI Jakarta yang saat ini sedang menempuh
pendidikan S2 di Jami’ah Islamiyah Madinah Al-Munawarah Saudi Arabia. Tema yang
disampaikan adalah tentang ‘Antara Keutamaan Dakwah dan Menghindari Sikap
Pembelotan.’
Di awal materi beliau menjelaskan tentang korelasi antara
keutama’an dakwah dan pembelotan. Bisa disimpulkan bahwa di antara kunci sukses
yang dilakukan secara institusional adalah minimnya sikap indisipliner
(pembelotan) dari para anggotanya.
Jika kita memperhatikan dan menghayati ayat-ayat Al-Qur’an maka
kita akan menemukan bahwa tema dakwah adalah merupakan tema yang dominan dalam
Al-Qur’an. Karena esensi dari agama islam sendiri itu adalah agama dakwah,
semua konten dan ajarannya adalah untuk diserukan dan didakwahkan kepada ummat
manusia.
Beliau menyebut salah satu ayat yang menjelaskan tentang keutamaan
dakwah, di antaranya firman Allah dalam surat Fusshilat : 33 :
“Dan siapakah orang yang lebih baik
perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, beramal shaleh kemudian
dia berkata bahwa aku adalah seorang muslim.”
Dalam ayat ini terdapat kata (من) yang secara tekstual berarti pertanyaan
namun sebenarnya maknanya adalah (الاستفهام للتقرير) yaitu pertanyaan bermakna pernyataan atau
penegasan. Artinya kata pertanyaan di situ merupakan sebuah kesimpulan dan
penetapan kalimat sesudahnya.
Ayat ini merupakan ayat yang paling ekspilit (tegas) menjelaskan
tentang keutamaan dakwah. Dari ayat ini bisa kita ambil kesimpulan bahwa ada
tiga hal pokok yang harus kita lakukan untuk menjadi orang dengan perkataan
terbaik. Yaitu : Kebanggaan sebagai seorang muslim, amal nyata dan menyeru
orang untuk mengikuti kebaikan yang dilakukan.
Selain itu mungkin tidak asing lagi nasehat Nabi kepada Ali bin Abi
Thalib ketika hendak mengutusnya memerangi orang Yahudi berikut, yang secara
gamblang menjelaskan keutamaan seorang da’i :
... فَوَاللهِ لَأَنْ يَهْدِيَ
اللهُ بِكَ رَجُلًا وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ
“....Demi Allah, ketika ada orang yang diberikan
petunjuk oleh Allah melalui perantara (dakwah) mu, itu lebih baik daripada unta
merah.” (H.R. Bukhari)
Beliau kemudian berkata, “Tentunya masih banyak ayat ataupun hadits lain yang menjelaskan tentang keutamaan-keutamaan dakwah. Sebagai para kader yang lulus DM 2 seharusnya permasalahan ini merupakan permasalahan aksiomatik yang sudah final dan tidak perlu dipertanyakan lagi.”
Setelah itu beliau menjelaskan bahwa marhalah dan tugas kita
selanjutnya adalah bagaimana membangun kesadaran tentang pentingnya berdakwah
secara institusi atau jama’ah. Mungkin kemudian timbul pertanyaan bukankah
nanti kita akan menghadap Allah secara individu dan sendiri-sendiri ? lalu apa
urgensi kita berdakwah secara jama’ah?
Mungkin pertanyaan ini muncul akibat pemahaman yang kurang utuh
tentang makna berdakwah itu sendiri/red. Karena secara tegas juga telah
dijelaskan dalam Al-Qur’an mengenai urgensi adanya sebuah institusi dalam
berdakwah. Seperti yang tertera pada surat Ali Imran : 104 berikut ini :
“ Dan hendaklah ada di antara kamu
segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan
mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”
Dari ayat ini bisa kita tarik kesimpulan bahwa julukan orang-orang
yang beruntung hanya melekat pada orang yang memiliki mekanisme fungsi kontrol
sosial atau yang kita kenal dengan ‘amar ma’ruf nahy munkar’.
Sehingga dakwah institusional itu harus ada, karena ada beberapa
kebaikan yang hanya bisa ditegakkan melalui institusi. Juga ada beberapa
kejahatan yang hanya bisa ditumpas melalui institusi.
Jika fungsi kontrol sosial ini kita tinggalkan maka kita akan
menjadi ummat terburuk. Sebagaimana teguran Allah pada bani Isra’il yang
tertera pada ayat berikut ini :
“Telah dila'nati orang-orang kafir dari Bani
Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. yang demikian itu, disebabkan
mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak
melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa
yang selalu mereka perbuat itu.” (Al-Maidah : 78-79)
Beliau lalu menyambung penjelasannya dengan penjelasan ayat yang
cukup populer bagi para da’i berikut ini :
“Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, Aku
dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah
yang nyata, Maha Suci Allah, dan Aku tiada termasuk orang-orang yang
musyrik". (Yusuf : 108)
Beliau pernah mendengar penjelasan yang disampaikan Ust. Rahmat
Abdullah (alm.) tentang ayat ini. Dari ayat tersebut ada 5 rukun yang harus
dipenuhi oleh organisasi dakwah untuk kesuksesan dakwahnya, yaitu :
1.
Manhaj yang jelas, yang dimaksud
adalah harus berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah
2.
Tujuan akhir yang jelas,
yaitu mengajak orang hanya semata-mata menyembah Allah.
3.
Memiliki skill dan bekal ilmu yang memadai
4.
Harus ada pemimpin yang ikhlash
5.
Harus ada anggota yang ta’at
Ketika kita menerapkannya dalam konteks KAMMI, maka sebagai
organasasi pengkaderan KAMMI harus berani menegaskan diri sebagai gerakan
dakwah sebelum gerakan politik (ekstra-parlementer/red.) Artinya sebelum
melangkah jauh melakukan manuver-manuver politik KAMMI harus memastikan dan
menegaskan bahwa semua unsur-unsur tadi sudah terpenuhi.
Namun yang perlu kita perhatikan di sini adalah bahwa dakwah
tidaklah cukup berhenti pada level institusi. Karena dakwah ini harus terus
berlanjut menembus level perbaikan negara, sampai akhirnya menjadi inspirasi
bagi dunia.
Mungkin kita bisa sedikit berkaca dari Mesir. Di sana sebelum
mereka berhasil memimpin negara, mereka telah berhasil membangun institusi yang
matang di segala bidang, baik pendidikan, hukum, kesehatan, sosial dan lainnya.
Untuk itulah, maka goncangan bertubi-tubi yang mereka hadapi pasca memerintah
pun bisa segera diatasi dan tidak begitu saja menggoyahkan mereka.
Di bagian kedua materi beliau membahas mengenai sikap pembelotan.
Kata pembelotan atau dalam bahasa Arab (العناد) di dalam Al-Qur’an selalu diartikan dengan makna yang
negatif. Contohnya adalah sebagaimana yang tertera dalam ayat berikut :
“Allah berfirman :" lemparkanlah olehmu
berdua ke dalam neraka semua orang yang sangat ingkar dan keras kepala”(Qaf :
24)
Secara terminologi
pembelotan bermakna : “Suatu gejolak psikologis atau akal yang
tercermin dengan menolak kebenaran dan melawannya dengan keras kepala.”
Secara sederhana bisa kita artikan bahwa pembelotan adalah sikap
keras kepada menolak kebenaran.
Namun, sikap keras kepada ini terkadang juga bisa dibenarkan ketika
konteks keras kepala di sini adalah keras kepala untuk memperjuangkan
kebenaran. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Bakar ketika tetap
bersikeras untuk memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat meskipun
mendapatkan kritikan dari Umar. Ini terabadikan dalam ucapannya yang terkenal :
والله لأقتلن من يفرق بين الصلاة والزكاة
“Demi Allah, aku akan memerangi orang-orang
yang membedakan antara (kewajiban) shalat dan zakat.”
Bahkan sikap ini adalah salah satu sikap yang harus dimiliki oleh
seorang pemimpin, yaitu tegas untuk mengatakan yang benar apapun resikonya.
Bahaya lain dari sikap pembelotan adalah bahwa sifat ini identik
dengan sikap dan sifat orang-orang munafiq di masa Rasulullah, sebagaimana
dijelaskan oleh Allah dalam ayat berikut :
“Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya
tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas
kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras.”
(Al-Baqarah : 204)
Ada beberapa hal yang menyebabkan sikap pembelotan ini, di
antaranya adalah :
1.
Hilangnya
kepercayaan terhadap pemimpin atau bahkan mungkin nilai-nilai ideologis
institusi.
2.
Adanya
hak-hak yang tidak terpenuhi.
3.
Hasrat
pemenuhan eksistensi personil yang tidak terpenuhi.
Adapun
akibat negatif yang ditimbulkan oleh sikap pembelotan ini adalah :
1.
Pengeroposan
dari dalam
2.
Bisa
menimbulkan perpecahan ukhuwah
Dari
penyebab di atas, penyebab yang paling berbahaya adalah karena sebab pertama, yaitu hilangnya
kepercayaan pada para pemimpin maupun ideologi. Jika ini sudah terjadi standar
penilaian yang dilakukan akan menjadi tidak jelas.
Begitulah
di antara materi yang disampaikan. Penyampaian materi selesai sekitar pukul
18.00 WIB dan dilanjutkan dengan sesi tanya jawab.
Pertanyaan
pertama dari salah satu peserta akhwat yang menanyakan tentang bagaimana
kiat-kiat untuk meredam gejolak sikap pembelotan atau indisipliner ini.
Kemudian peserta ikhwan menanyakan dua hal : Apakah mungkin ada faktor lain
selain tiga faktor di atas yang menyebabkan terjadinya pembelotan seperti tidak
setuju dengan kebijakan institusi dan menganggapnya sudah melenceng dari tujuan
awal. Kedua, apa perbedaan antara sikap membelot dengan sikap kritis.
Menanggapi
pertanyaan pertama, Ust. Faris menjelaskan bahwa untuk mekanisme penyelesaian
masalah tentunya merupakan permasalahan teknis dan sangat tergantung dengan
kebijakan institusi. Adapun langkah-langkah strategis yang harus dilakukan
adalah harus terlebih dahulu dilakukan diagnosa dan meneliti penyebab
terjadinya pembelotan, karena dengan demikian maka nanti akan dapat disesuaikan
bagaimana langkah yang harus diambil.
Dan
yang terpenting adalah, para pemimpin lembaga harus bisa menjaga agar wabah ini
tidak menyebar menjangkiti anggota yang lain dan menimbulkan ketidak percayaan
dari para anggota. Caranya adalah dengan kembali menegaskan dan membuktikan
bahwa lembaga ini tidak melenceng dari tujuan dan arah perjuangan.
Pertanyaan
kedua, sebagai seorang mahasiswa yang masih dalam tahap belajar ketika kita
melihat fenomena seperti ini maka kita harus tetap bisa bersikap obyektif.
Dalam artian kita harus bisa melihat apakah memang benar apa yang dituduhkan
oleh para orang-orang yang membelot tersebut.
Kemudian
harus kita pahami, bahwa gerakan yang dilakukan oleh organisasi atau institusi
adalah merupakan ekspresi dari ideologi itu sendiri. Artinya ketika seseorang
memutuskan untuk membelot hanya karena tidak setuju dengan gerakan organisasi
maka harus dipahami juga bahwa terdapat perbedaan mendasar antara ideologi yang
sudah final atau baku dan tidak bisa diganggu gugat dengan ijtihad atau
fleksibel atau menyesuaikan keadaan.
Karena
ruang lingkup kemaslahatan itu snagat luas dan perlu banyak penyesuaian. Hal
ini sebagaimana perbedaan dalam ilmu ushul fiqih antara permasalahan ushul dan
furu’.
Imam
hasan Al-Banna pernah berkata dalam buku 20 asas (الأصول العشرين) :
واجتهاد الإمام فيما لا نص فيه أو في المصالح
المرسلة مقيد
“Ijtihad
seorang imam (pemimpin) dalam perkara yang tidak ada nash dan berkaitan dengan
mashlahah mursalah itu sifatnya mengikat (dan wajib dita’ati).”
Untuk
itu, di ruang yang kemaslahatan yang sangat luas ini ijtihad kolektif harus
lebih didahulukan daripada ijtihad pribadi.
Mengenai
perbedaan antara sikap kritis dan sikap pembelotan memang sangat tipis perbedaannya
dan hampir sulit dibedakan. Namun cobalah renungkan salah satu perkataan
penulis asal Maroko Farid Anshari berikut ini :
كثيرا ما يخلط بين النقض المرفوض والنقد المشروع
، وشتان بين النقض المرفوض والنقد المشروع.
“Banyak orang yang tidak bisa membedakan
antara kritik dekstruktif dan kritik konstruktif, padahal perbedaan dua hal ini
adalah antara perbedaan antara langit dan bumi.”
Tetapi
ada beberapa hal menonjol yang bisa menjadi tolok ukur penilaian apakah sebuah
kritik itu bersifat konstruktif ataukah sudah mengarah ke sikap pembelotan. Di
antaranya adalah ketika kritik itu mengarah kepada kritik personalisasi atau
secara terang-terangan menunjuk orang maka kritik sudah tidak sehat lagi.
Karena ini berarti kritik yang diberikan sudah terkontaminasi dengan unsur
subyektivitas yang tinggi.
Untuk
itulah, agar sebuah kritik tidak berkembang menjadi sebuah pembelotan maka
obyek kritik harus didiskusikan atau bahkan diperdebatkan dan dicari titik temu
permasalahan serta selalu diadakan konsolidasi internal sehingga permasalahan
bisa selesai.
Namun
yang harus diketahui adalah bahwa sikap kritis itu memang wajar dalam sebuah
organisasi, karena setiap kepala tentunya berbeda isi fikirannya.
Beliau
menutup pertemuan itu dengan perkataan Dr. Salman ‘Audah :
“Hal
yang terpenting (dalam sebuah jama’ah) adalah wihdaru shaf (persatuan barisan),
bukan wihdatu ra’yi (kesama’an pendapat). Karena kesamaan pendapat itu adalah
sebuah hal yang hampir mustahil terjadi.”
Kumandang
adzan maghrib menjadi pertanda akan berakhirnya agenda di sore itu, dan acara
pun ditutup dengan do’a kaffaratul majlis. Semoga hati-hati kita selalu
disatukan oleh Allah dalam perjuangan meraih cinta-Nya. Karena hanya Dialah
yang bisa menyatukan hati kita. Amin. (taj/as-shohwah)